Aku kuliah (sekarang sudah lulus) dan bekerja. Aku bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku, baik untuk makan, bayar kuliah, atau sekedar untuk bersenang-senang.
Di
suatu hari selepas kuliah kira-kira pukul 18:45 aku langsung memacu
motorku ke tempat nongkrong di gang Bangau di Senen. Di sana kehadiranku
sangat diharapkan karena aku agak ngocol kalau diajak bercanda.
“Hei Hans acara lo kemana nih ntar malam,” sapa seorang teman sesampainya di sana.
“Tau Lim (Kimlin) gue bingung nih, gue sih bisa kemana aja, emangnya anak-anak pada mau kemana?”
“Tau tuh. Tapi si Franki ngajakin nyodok (istilah main bilyard). Mau nggak Hans?” kata Kimlin.
“Gue mah boleh aja tapi anak-anak yang lain mau nggak?”
“Hans, anak-anak sih mau soalnya wasitnya banyak yang cakep,”
“Loh mau nyodok di mana? Bukan di tempat biasa?”
“Di Coxxx.”
“O… enak nggak di sana mejanya?”
“Lebih enak lagi,” Kata si monyet temanku.
“Ya udah kalo anak-anak mau sih.”
Akhirnya
kami semua berangkat ke lokasi. Sesampainya di sana kami langsung
mencari meja kosong. Tentunya satu meja untuk beramai-ramai (yang kalah
main ganti orang biar agak irit mainnya).
Aku
melihat sekeliling ruangan. Bagus juga tempatnya. Memang sih wasitnya
cakep-cakep. Sambil melihat-lihat, Aku menangkap sesosok wajah yang
boleh dibilang paling cantik sih dibanding wasit yang lainnya di tempat
itu.
“Hei Hans giliran elo tuh…”
“Ha eh sorry lagi liat-liat nih,” kataku.
Setelah aku memukul bola, kudekati wasit yang sedang menghitung di meja kami.
“Mbak, wasit yang itu namanya siapa sih?” sambil menunjuk sosok cantik yang kulihat tadi.
“Kenapa tanya wasit itu? Cakep kan?”
“Iya sih boleh juga.”
“Dea namanya. Kenapa naksir ya?”
“Nggak,” kataku.
“Kamu kayaknya baru sekali yach dateng ke mari (tempat bilyard maksudnya).”
“Iya…”
“Makanya sering-sering dong kemari.”
Aku tersenyum sambil menjawab, “Iya deh…!”
Keesokan
harinya aku balik lagi ke sana. Sama anak-anak lagi. Tentunya menunggu
wasit yang bernama Dea itu. Dan akhirnya bisa juga diwasitin sama si
Dea. Wah semangat banget anak-anak mainnya.
Ada
juga yang menggoda. Aku lebih memilih untuk duduk diam sambil ngobrol
sama Dea sambil mengomentari anak-anak yang bermain bilyard. Sambil
mengomentari anak-anak main, diam-diam aku melihat lekuk tubuh Dea. Dia
badannya bagus. Terlihat dari kaos ketat yang dia pakai.
Dengan
ukuran payudara sekitar 34B. Pinggulnya juga tidak terlalu besar. Yah
ideal lah untuk seorang wanita. Dan yang lebih wah lagi ternyata Dea
merupakan wasit primadona di sana.
Jadi banyak juga pemain bilyard yang mau mengincar dia, baik diwasitin, ataupun yang lain. Ya temasuk aku juga sih. Akhirnya kami ngobrol. Aku bertanya macam-macam, tentunya pura-pura kenalan dulu sekedar basa-basi.
Jadi banyak juga pemain bilyard yang mau mengincar dia, baik diwasitin, ataupun yang lain. Ya temasuk aku juga sih. Akhirnya kami ngobrol. Aku bertanya macam-macam, tentunya pura-pura kenalan dulu sekedar basa-basi.
“Dea,” katanya (sambil berjabat tangan).
“Hans. Kamu udah lama jadi wasit di sini?” aku membuka percakapan.
“Hmm.. lama juga. Hampir 8 bulan.”
“Wah lumayan juga yach.”
“Iya.”
“Kamu umur berapa Dea?”
“Baru 20,” katanya.
“Kamu?” dia balik bertanya.
“Udah 23 (umur saya saat itu). Kenapa?”
“Ah nggak pa-pa. Kamu kayaknya baru-baru aja yach main di sini.”
“Iya. Kok tau?” kataku.
“Iya nggak pernah keliatan,” sambil tersenyum.
“Sering-sering dong kemari,” katanya.
“Wow pasti, soalnya ada Dea sih.” dia cuma tersenyum.
Berawal
dari obrolan itu akhirnya aku sering main bilyard di situ, dengan Dea
sebagai wasit tentunya. Terkadang aku pun sering menawarkan sesuatu
seperti minuman atau makanan (di luar gedung suka banyak orang yang
jualan).
Di samping itu aku pun berniat untuk mendapatkan dia. Yah untuk iseng aja soalnya aku dulu suka sekali nyobain perempuan-perempuan baik perempuan baik-baik maupun yang nakal.
Di samping itu aku pun berniat untuk mendapatkan dia. Yah untuk iseng aja soalnya aku dulu suka sekali nyobain perempuan-perempuan baik perempuan baik-baik maupun yang nakal.
Tapi
setelah kupikir, saingannya banyak juga karena yang bermain di sana
matanya pasti melihat ke Dea. Tatapan mereka pun bukan sekedar tatapan
biasa tetapi bagaikan tatapan seekor singa yang sedang mengincar seekor
domba.
Aku
sih cuek aja soalnya aku menganggap ini suatu kompetisi. Namanya juga
lagi usaha. Jadi kalau dapat syukur nggak dapat ya udah. Lagi pula Dea
sepertinya memberikan lampu hijau kepadaku kalau dilihat dari sikapnya
setelah beberapa kali aku datang dan diwasitin olehnya.
Setelah melihat sikap Dea seperti itu, aku mencoba untuk berbicara kepadanya (berbicara serius tentunya).
“Eh Dea, kayaknya aku suka nih sama kamu.” rayuku gombal.
“terus memangnya kenapa..?” tanyanya.
“Kita jadiin yuk! mau ngak kamu…”
Dia dia sejenak.
“Kenapa?” Tanyaku, “Ada yang marah yach?”
“Nggak. Siapa yang marah!?”
“Nggak… siapa tau aja..” kataku, “Jadi mau nih….”
“Hmmm,” sambil mengangguk.
“Yes!” kataku dalam hati.
Kami
pun akhirnya resmi pacaran. Tapi aku tidak menganggap serius. Dea pun
kukira begitu. Jadi sekedar have fun saja. Kebetulan, dalam hatiku.
Setelah kejadian tersebut aku jadi lebih sering datang ke sana terutama
malam.
Terkadang
aku datang sendiri, terkadang bersama Kimlin, terkadang rame-rame. Yah
sekedar setor muka sekalian ngobrol-ngobrol. Jika Dea tidak ngewasitin
kita, setelah selesai ngewasitin meja lain dia langsung ke meja kami.
Aku
pun terus berpikir, “Gile nih Dea… Body oke… gue udah bisa jalan sama
dia… masa sih gue ngak bisa ngedapetin tubuhnya!” Sampai suatu malam
kucoba mengajak dia untuk main ke tempatku (kebetulan aku kost waktu
itu).
“Eh Dea, acara kamu kemana selesai tugas?”
“Nggak ke mana-mana kok.”
“Main ke tempatku mau?”
“Mmm (sambil berpikir) boleh…”
Yes lagi dalam hatiku. Akhirnya dengan membonceng dia, kuajak Dea ke tempat kost-ku yang lumanyan jauh jaraknya.
“Yah beginilah tempat bujangan,” kataku membuka pembicaraan sesudah sampai di tempat kost-ku.
“Lumayanlah buat ukuran kamu yang masih sendiri. Eh Hans, ngomong-ngomong ada yang marah nggak Dea kemari?” sambil tesenyum.
“Nggak kok,” kataku.
“Ah masa sih? Dea nggak percaya..”
“Bener lagi (kebetulan aku masih single waktu itu), kenapa emangnya?”
“Ah nggak apa-apa kok,” kata Dea.
“Dea mau minum apa? teh manis yach?” kataku.
“Boleh…”
Kemudian
aku mulai merebus air dan membuatkan teh manis untuk Dea. Sesudah
selesai aku membuatkan teh manis untuknya, kami mengobrol kembali dan
ternyata Dea sudah tiduran di kasur busa ruangan kost-ku. Sambil menaruh
cangkir teh di meja, aku mencoba untuk memeluknya. Ya ampun… si junior
mulai bereaksi juga nih. Soalnya dia sexy sekali.
Apalagi
waktu dia tiduran roknya agak tersingkap sehingga terlihat sedikit
kulit mulus di balik roknya. Dengan sedikit senyum di wajahnya, dia
menginginkan aku tidur di sebelahnya. Aduh mak.. bingung juga nih.
Soalnya dia lebih agresif, diluar perkiraanku sih. Padahal aku ada
rencana untuk memulainya.
Tanpa
menunggu lama lagi kubikin remang-remang ruangan di kamar kost-ku. Lalu
aku tidur di sebelahnya. Deg-degan juga sih rasanya. Kemudian tanpa
dikomando kami memulai saling berhadapan. Nggak tahu juga kenapa bisa
bersamaan mulainya. Dia mulai memelukku kemudian aku memulai mencium
keningnya.
Lalu
dia langsung membalas mencium leherku dan tanpa basa-basi lagi aku
menyambar bibirnya yang mungil. Kemudian kami langsung berciuman dengan
saling mengulum lidah kami. Gila! dalam hatiku.
Nih
cewek jago juga ciumannya. Kemudian dia membuka bajuku dan menempelkan
lagi bibirnya di leherku. “Ssshh..” dengan lincahnya dia memainkan
lidahnya di antara leher dan sekitar belakang telingaku.
“Sshhh… eh Dea..”
“Hemm.. kenapa lagi Say?” katanya terkejut.
“Nggak ada cupang-cupangan yach?”
Kemudian
dia langsung menyambarkan lagi bibirnya dengan sedikit bernafsu. Busyet
deh. Aku menggeliat sedikit sambil menghindar dan Dea tersenyum.
“Iya deh… Nggak dicupang.”
“Suer lho gue kan malu…”
“Emang gue pikirin?” katanya.
Setelah
selesai berbicara aku langsung menyambar bibirnya. Kemudian tanganku
berusaha melepaskan kaitan bra tanpa membuka busananya terlebih dahulu.
Terbuka juga. Aku langsung mengarahkan tanganku ke payudaranya. Gile
bener.. 34B, ukurannya pas segenggam. Kemudian aku memainkan puting
susunya.
“Mmmhh..
sshhh..” desisnya. Melihat kelakuanku dia sadar juga. Akhirnya dia
membuka baju yang dia kenakan malam itu, dan langsung menjulanglah dua
gunung yang indah menantang itu. Dia rupanya sudah mulai terangsang.
Kemudian
kuarahkan mulutku ke arah puting payudaranya, lalu kulumat puting susu
yang ranum itu secara perlahan tapi pasti. Kujilat sekeliling puting
susunya. “Mmmhh…” Dan dia pun sedikit mengejang.
Mungkin akibat rangsangan yang ditimbulkan dari kuluman lidahku terhadap puting susunya. Sambil mengalungkan tangannya ke leherku, terkadang menjambak rambutku.
Mungkin akibat rangsangan yang ditimbulkan dari kuluman lidahku terhadap puting susunya. Sambil mengalungkan tangannya ke leherku, terkadang menjambak rambutku.
“Ssshh..
aahh.. mmhh..” dia terus menikmati permainan lidahku terhadap
putingnya. Tanpa terasa batang kemaluanku pun telah berdiri tegap. Terus
terang pembaca, rasanya aku juga sudah mau keluar juga.
Atas
dasar itu aku menghentikan permainan lidahku dan langsung berbaring
sebentar di sebelahnya. “Dea… nyantai dulu yah. Jangan terlalu nafsu.
Aku kayaknya udah diujung nih.” Tanpa perkataan dia terus mengarahkan
bibirnya ke puting susuku dan memainkan lidahnya.
Sedikit
menggeliat tubuhku karena menahan gejolak yang amat sangat. “Mmhh
aahh..” Dia kemudian memainkan lidahnya dari dadaku sampai ke pusar.
“Bener-bener deh nih cewek,” dalam hatiku. Sambil terus memainkan
lidahnya bak mandi kucing, dia mulai membuka celana yang kupakai dan,
“Ups…”
batang kemaluanku sudah menjulang agak miring sedikit. Sambil terus
menjilati, dia memainkan batang kemaluanku. Dia begitu agresif. Akupun
tidak mau ketinggalan untuk melawan agresifnya.
Aku
pun mulai memainkan payudaranya lagi, dia tetap menjilati seluruh
tubuhku. Karena posisinya agak nungging aku mencoba untuk memasukan
tanganku ke dalam roknya. Tapi tanganku ditepis. “Lho..” dalam hatiku.
Tanganku dipegang olehnya dan kemudian dia merubah posisinya menjadi
agak tiduran.
Kemudian dia berbicara, “Hans, Dea aja yach yang puasin kamu..”
“Lho kenapa?” aku bertanya keheranan.
“Lagi M (mens) nih sorry nih…”
Ya ampun kecele deh gue. Sambil tersenyum aku mengangguk.
“Ya udah ngak apa-apa kok, lain kali aja yach Hans puasin kamu.”
Dia
mengangguk. Lalu dia melanjutkan memainkan lidahnya. Tapi batang
kemaluanku… ya ampun… rupanya tidak bisa menerima kenyataan ini.
“Lho Hans, kenapa?” tanya Dea.
“Marah
nih si junior,” kataku sambil tersenyum, dan Dea pun tersenyum sampai
akhirnya kami berciuman dan tidur bersama menghabiskan malam itu dengan
penuh kejutan-kejutan yang yang membuat kami saling tersenyum.
Tentu saja hatiku sedikit dongkol. Ya gimana nggak dongkol, udah diujung tapi doi lagi palang merah, pusing.. pusing..!
Setelah
peristiwa malam itu aku sering mengantar Dea pulang walaupun harus
bela-belain berangkat dari tempat kost-ku. Sampai tiba saat yang
dinantikan yaitu ketika dia ada waktu dan mau main ke tempat kost-ku.
Kejadian
sama seperti yang lalu. Kali ini Dea tampil lebih sexy dengan kemeja
dan span. Setelah sampai di tempat kost-ku, aku langsung memeluknya dari
belakang dan menciumi leher dan belakang telinganya. Sambil tetap
memeluk dia aku bertanya, “Lagi M (mens) nggak Non?” tanyaku.
“Nggak…” jawabnya mesra.
Kemudian
dia berbalik dan bibir kami pun beradu dan saling memainkan lidah kami.
“Mmmh… sss.. mmhh..” sambil terus kami berkuluman lidah, tanganku mulai
membuka kancing kemeja yang dia pakai dan tanganku pun langsung membuka
pengait BH-nya. Dan menjulanglah buah dadanya. Sambil meremas-remas aku
mengarahkan bibirku di puting payudaranya.
Langsung
aku mengulum puting payudaranya. Terkadang aku memainkan dengan jariku
sehingga dia agak menggeliat-geliat. Sampai akhirnya kupapah dia ke
kasur. Lalu aku membuka baju dan celanaku sehingga yang tersisa hanya
celana dalam saja. Tentu saja si junior sudah ngecap di situ sampai
nongol segala, seperti lagi ngintip.
Kemudian
dia pun membuka kemejanya dan rok spannya. Setelah dia membuka
kemejanya aku langsung menjilati sekujur tubuhnya. “Mmmh.. sshh.. ahh..”
Dea mendesah sambil terus aku memainkan lidahku.
Aku kemudian membuka celana dalam Dea karena yang tertinggal hanyalah itu. Kemudian aku melihat kemaluannya yang ditumbuhi bulu-bulu kecil. Terkesan sensual sekali memang.
Aku kemudian membuka celana dalam Dea karena yang tertinggal hanyalah itu. Kemudian aku melihat kemaluannya yang ditumbuhi bulu-bulu kecil. Terkesan sensual sekali memang.
Kemudian
aku merubah posisiku agar aku dapat juga melihat lebih jelas, kalau
perlu menjilati kemaluannya. Aku mencoba untuk mengangkangkan kedua
kakinya. Alamak… mungil sekali daging yang berwarna pink pucat itu.
Kemudian
tanpa aba-aba lagi langsung aku melabrak benda kecil itu. Aku
menjilatinya sampai di sela-sela klitorisnya. Dia pun tidak kuasa
menahan kenikmatan yang tiada tara tersebut. Aku terus memainkannya
sambil menjilati cairan-cairan pelumas yang sudah membanjir sejak tadi.
“Hans,
eh ya udah dong, Dea udah becek banget nih,” bisiknya sambil dia
memutar tubuhnya untuk mendapatkan batang kemaluanku. Melihat itu aku
langsung saja mengakhiri acara menjilati kemaluannya. Aku membiarkan dia
menjilati seluruh tubuhku. Tentunya dengan rangsangan yang sangat hebat
yang sedang menerpa dirinya.
“Mmmhh…
sshhh…” dia mulai memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya.
“Sshhh.. ahhh.. mmhhh..” aku menaikkan sedikit pantatku sehingga batang
kemaluanku agak masuk ke dalam mulutnya.
“Aaahh…
ssshh..” dia pun mengocok batang kemaluanku dangan menggunakan
mulutnya. Bernafsu sekali. “Mmmpp.. mmpppp… mmmhhh..” sambil memainkan
jariku di kemaluannya, ia mendesah kembali. “Ahhh… ssshh…”
“Oh Hans, masukin yach… Dea udah nggak tahan nih.”
Aku
melihat dirinya seperti hampir dilanda gelombang orgasme yang hebat.
Akhirnya dia pun menuntun batang kemaluanku ke dalam liang senggamanya
(saat itu posisiku di bawah). “Blesss…” Karena dia sudah basah sekali,
aku pun merasakan licinnya batang kemaluanku ketika mulai menembus liang
kewanitaannya.
“Ahhh…
sshhh… kamu hebat Hans.” Aku diam saja sambil mengimbangi goyangannya.
“Ssshh.. ahhh.. ssshh.. Hans aku keluar.” Benar aku merasakan batang
kemaluanku hangat di dalam liang senggamanya.
Kemudian
dia lemas. Aku menyuruh dia untuk posisi di bawah. Akhirnya aku
menghujamkan lagi batang kemaluanku ke dalam liang kewanitaannya.
“Eeeaahhh…” aku menggoyangkan pantatku naik-turun dengan kakinya yang
kukangkangkan. Aku merasakan dia akan orgasme lagi.
Sambil
menggigit bibir bawahnya dia menatapku penuh harap supaya aku
memuncratkan cairan kejantananku. “Ssshh.. aahhh… sabar yach Dea,” aku
terengah-engah, “Sebentar lagi..” Aku menggoyangkan pantatku secara
cepat dan akhirnya… “Ssshhh.. ahhh.. uuhhh..”
Aku
menekan batang kemaluanku di liang kewanitaannya. “Aaahh..” aku
langsung mencium keningnya dan dia memelukku sambil berucap kecil, “Aku
sayang kamu Hans, kamu hebat.” Aku hanya diam saat itu.
Akhirnya
kami pun melakukannya setiap ada kesempatan. Sampai pada akhirnya dia
tidak bekerja lagi di Coxxx, dan aku pun tidak tahu lagi keberadaannya.
Aku sudah mencoba bertanya kepada teman-temannya yang ada. Mereka hanya
bilang, Dea ada masalah keluarga.
Harus
pulang mendadak. Sampai saat ini pun aku tidak pernah bertemu Dea lagi,
kemana aku harus mencari. Aku tidak tahu lagi. Aku coba telepon
tempatnya. Ya katanya sama, sudah pulang kampung.TAMAT.
0 comments:
Post a Comment